Selasa, 06 November 2012

MATEMATIKA BUKAN SATU-SATUNYA TOLOK UKUR KECERDASAN





Kecerdasan anak tak bisa disamaratakan. Pada dasarnya, anak-anak memiliki kecerdasan 

yang unik sebagai cerminan dari minat dan bakatnya.
 
Pemerhati pendidikan anak Seto Mulyadi mengatakan, seringkali orangtua mengukur 

kecerdasan anak melalui mata pelajaran tertentu, misalnya anak yang kuat di mata pelajaran 

matematika dianggap cerdas, dan sebaliknya, stigma kurang cerdas kerap disematkan pada 

anak-anak yang rendah nilai matematikanya.


"Seolah-olah cerdas matematika di atas segalanya, padahal anak-anak memiliki kecerdasan 

di sisi lain. Sebagai musisi, pelukis, orator, atau apapun yang menjadi minat dan bakatnya," 

kata pria yang akrab disapa Kak Seto dalam sebuah seminar bertajuk "Menyikapi Kekerasan 

Pada Anak Usia Dini" yang digelar Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), di Ciputat, 

Jakarta Selatan, Sabtu (1/9/2012).


Cara belajar setiap anak, kata dia, juga berbeda-beda. Hal itu dipengaruhi oleh kemampuan 

setiap anak menyerap materi ajar yang disampaikan. Beberapa anak bisa belajar dengan 

"anteng", sedangkan lainnya bukan tak mungkin memerlukan suasana yang berbeda.

"Ada juga yang karena bergerak anak itu menjadi cerdas. Itulah kenapa banyak lahir sekolah 

alam," ujarnya.

 
Kak Seto menegaskan, memaksa anak untuk menguasai satu mata pelajaran atau bidang 

tertentu merupakan bentuk lain dalam kekerasan kepada anak. Sayangnya, masih banyak

guru atau orangtua yang tidak menyadari hal tersebut.


"Memaksa anak yang cerdas bernyanyi untuk cerdas Matematika adalah kekerasan yang 

tidak kita sadari. Semua anak pada dasarnya cerdas. Menjadi sayang saat tak dihargai dan 

tak  akan bisa cemerlang," tandasnya.


Editor :
Caroline Damanik


Baca Selengkapnya - MATEMATIKA BUKAN SATU-SATUNYA TOLOK UKUR KECERDASAN

MATEMATIKA BISA MENYAKITKAN



 

Matematika bisa membuat seseorang benar-benar merasakan sakit secara fisik dalam kondisi tertentu. Inilah 
yang terungkap dalam riset terbaru yang dipublikasikan di jurnal PLoS ONE, Rabu (31/10/2012). 

Tim peneliti yang dipimpin Ian Lyons, psikolog dari Universitas Chicago, melakukan observasi terhadap 14 orang yang mengalami kecemasan tinggi pada matematika (
high math anxiety) dan 14 orang dengan tingkat kecemasan pada matematika yang rendah (LMA). 

Tingkat kecemasan diidentifikasi oleh individu itu sendiri. Parameter kecemasan dinilai dari rasa gelisah saat berjalan menuju kelas matematika atau saat harus mengambil mata pelajaran matematika untuk lulus dari studi.

Dalam riset, orang yang mengalami HMA dan LMA diberikan satu seri soal matematika dan soal cerita. Peserta diminta melihat monitor, sementara aktivitas otaknya dilihat dengan
 magnetic resonance imaging (MRI). Di layar, akan tampak lingkaran kuning dan kotak biru sebagai tanda jenis soal selanjutnya, apakah matematika atau soal cerita. 

Hasil riset menunjukkan, saat sinyal soal matematika keluar, aktivitas bagian otak yang terkait dengan rasa sakit pada orang dengan HMA tiba-tiba meningkat. Semakin cemas, maka semakin tinggi pula aktivitas bagian itu. Hal yang sama tak dijumpai pada orang dengan LMA.

Riset tersebut menunjukkan bahwa dengan kondisi tertentu, matematika benar-benar bisa memicu rasa sakit. Namun, peneliti mengingatkan, bukan berarti matematika harus dimusuhi. Sebab rasa bukan datang dari matematika itu sendiri.

"Karena temuan kami spesifik pada aktivitas terkait isyarat tertentu, bukan matematika itu sendiri yang memicu rasa sakit, tetapi antisipasi pada matematika itu yang menyakitkan," papar Lyons dalam publikasinya.
 

Sebelumnya, peneliti lain juga telah menemukan bahwa rasa sakit fisik bisa disebabkan oleh pengalaman sehari-hari. Sebagai contoh, putus cinta dan penolakan sosial terbukti mengakibatkan sakit secara fisik.
Sumber :
LiveScience
Editor :
yunan

Baca Selengkapnya - MATEMATIKA BISA MENYAKITKAN