Kehidupan kadang sulit untuk dicerna meski akal dan rasa telah bergerak untuk mengerti
Home » Archives for November 2012
Selasa, 20 November 2012
Selasa, 06 November 2012
MATEMATIKA BUKAN SATU-SATUNYA TOLOK UKUR KECERDASAN
Kecerdasan anak tak bisa disamaratakan. Pada dasarnya, anak-anak
memiliki kecerdasan
yang unik sebagai cerminan dari minat dan bakatnya.
Pemerhati pendidikan anak Seto Mulyadi mengatakan, seringkali orangtua mengukur
kecerdasan anak melalui mata pelajaran tertentu, misalnya anak yang kuat di
mata pelajaran
matematika dianggap cerdas, dan sebaliknya, stigma kurang cerdas
kerap disematkan pada
anak-anak yang rendah nilai matematikanya.
"Seolah-olah cerdas matematika di atas segalanya, padahal anak-anak memiliki kecerdasan
di sisi lain. Sebagai musisi, pelukis, orator, atau apapun
yang menjadi minat dan bakatnya,"
kata pria yang akrab disapa Kak Seto
dalam sebuah seminar bertajuk "Menyikapi Kekerasan
Pada Anak Usia
Dini" yang digelar Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), di Ciputat,
Jakarta Selatan, Sabtu (1/9/2012).
Cara belajar setiap anak, kata dia, juga berbeda-beda. Hal itu dipengaruhi oleh kemampuan
setiap anak menyerap materi ajar yang disampaikan. Beberapa anak bisa
belajar dengan
"anteng", sedangkan lainnya bukan tak mungkin
memerlukan suasana yang berbeda.
"Ada juga yang karena bergerak anak itu menjadi cerdas. Itulah kenapa banyak lahir sekolah
alam," ujarnya.
Kak Seto menegaskan, memaksa anak untuk menguasai satu mata pelajaran atau
bidang
tertentu merupakan bentuk lain dalam kekerasan kepada anak. Sayangnya,
masih banyak
guru atau orangtua yang tidak menyadari hal tersebut.
"Memaksa anak yang cerdas bernyanyi untuk cerdas Matematika adalah kekerasan yang
tidak kita sadari. Semua anak pada dasarnya cerdas. Menjadi
sayang saat tak dihargai dan
tak akan bisa cemerlang," tandasnya.
Editor :
Caroline Damanik
MATEMATIKA BISA MENYAKITKAN
Matematika
bisa membuat seseorang benar-benar merasakan sakit secara fisik dalam kondisi
tertentu. Inilah
yang terungkap dalam riset terbaru yang dipublikasikan di
jurnal PLoS
ONE, Rabu (31/10/2012).
Tim peneliti yang dipimpin Ian Lyons, psikolog dari Universitas Chicago, melakukan observasi terhadap 14 orang yang mengalami kecemasan tinggi pada matematika (high math anxiety) dan 14 orang dengan tingkat kecemasan pada matematika yang rendah (LMA).
Tingkat kecemasan diidentifikasi oleh individu itu sendiri. Parameter kecemasan dinilai dari rasa gelisah saat berjalan menuju kelas matematika atau saat harus mengambil mata pelajaran matematika untuk lulus dari studi.
Dalam riset, orang yang mengalami HMA dan LMA diberikan satu seri soal matematika dan soal cerita. Peserta diminta melihat monitor, sementara aktivitas otaknya dilihat dengan magnetic resonance imaging (MRI). Di layar, akan tampak lingkaran kuning dan kotak biru sebagai tanda jenis soal selanjutnya, apakah matematika atau soal cerita.
Hasil riset menunjukkan, saat sinyal soal matematika keluar, aktivitas bagian otak yang terkait dengan rasa sakit pada orang dengan HMA tiba-tiba meningkat. Semakin cemas, maka semakin tinggi pula aktivitas bagian itu. Hal yang sama tak dijumpai pada orang dengan LMA.
Riset tersebut menunjukkan bahwa dengan kondisi tertentu, matematika benar-benar bisa memicu rasa sakit. Namun, peneliti mengingatkan, bukan berarti matematika harus dimusuhi. Sebab rasa bukan datang dari matematika itu sendiri.
"Karena temuan kami spesifik pada aktivitas terkait isyarat tertentu, bukan matematika itu sendiri yang memicu rasa sakit, tetapi antisipasi pada matematika itu yang menyakitkan," papar Lyons dalam publikasinya.
Sebelumnya, peneliti lain juga telah menemukan bahwa rasa sakit fisik bisa disebabkan oleh pengalaman sehari-hari. Sebagai contoh, putus cinta dan penolakan sosial terbukti mengakibatkan sakit secara fisik.
Tim peneliti yang dipimpin Ian Lyons, psikolog dari Universitas Chicago, melakukan observasi terhadap 14 orang yang mengalami kecemasan tinggi pada matematika (high math anxiety) dan 14 orang dengan tingkat kecemasan pada matematika yang rendah (LMA).
Tingkat kecemasan diidentifikasi oleh individu itu sendiri. Parameter kecemasan dinilai dari rasa gelisah saat berjalan menuju kelas matematika atau saat harus mengambil mata pelajaran matematika untuk lulus dari studi.
Dalam riset, orang yang mengalami HMA dan LMA diberikan satu seri soal matematika dan soal cerita. Peserta diminta melihat monitor, sementara aktivitas otaknya dilihat dengan magnetic resonance imaging (MRI). Di layar, akan tampak lingkaran kuning dan kotak biru sebagai tanda jenis soal selanjutnya, apakah matematika atau soal cerita.
Hasil riset menunjukkan, saat sinyal soal matematika keluar, aktivitas bagian otak yang terkait dengan rasa sakit pada orang dengan HMA tiba-tiba meningkat. Semakin cemas, maka semakin tinggi pula aktivitas bagian itu. Hal yang sama tak dijumpai pada orang dengan LMA.
Riset tersebut menunjukkan bahwa dengan kondisi tertentu, matematika benar-benar bisa memicu rasa sakit. Namun, peneliti mengingatkan, bukan berarti matematika harus dimusuhi. Sebab rasa bukan datang dari matematika itu sendiri.
"Karena temuan kami spesifik pada aktivitas terkait isyarat tertentu, bukan matematika itu sendiri yang memicu rasa sakit, tetapi antisipasi pada matematika itu yang menyakitkan," papar Lyons dalam publikasinya.
Sebelumnya, peneliti lain juga telah menemukan bahwa rasa sakit fisik bisa disebabkan oleh pengalaman sehari-hari. Sebagai contoh, putus cinta dan penolakan sosial terbukti mengakibatkan sakit secara fisik.
Sumber :
LiveScience
Editor :
yunan
Langganan:
Postingan (Atom)