Istilah burnout
adalah istilah yang relatif baru, pertama kali diciptakan pada tahun 1974
oleh Herbert
Freudenberger, dalam bukunya "Burnout:
Biaya Tinggi Prestasi Tinggi".
Ia merupakan seorang ahli psikologi klinis pada
lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah.
Freudenberger memberikan ilustrasi, sindrom
burnout seperti gedung terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang
mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar,
yang tampak hanya kerangka luarnya. Ilustrasi ini memberikan gambaran bahwa
orang yang terkena burnout, dari luar
segalanya tampak utuh, tapi di dalamnya kosong, penuh masalah.
Pada awalnya burnout
didefinisikan sebagai kelelahan, kepunahan motivasi atau insentif, terutama di
mana pengabdian seseorang kepada penyebab atau hubungan gagal untuk menghasilkan
hasil yang diinginkan.
Burnout
terjadi pada sebagian besar orang yang banyak memberikan layanan kemanusiaan,
termasuk guru yang memberikan layanan pendidikan pada siswa di sekolah. Apabila
terkena burnout, ia akan memiliki
efek psikologis yang buruk terhadap rendahnya aspek moral, seperti membolos,
telat kerja, mudah tersinggung, dan keinginan untuk pindah. Konsep diri dan sikap negatif muncul, sehingga perhatian dan
perasaan terhadap orang lain jadi tumpul. Dengan demikian, burnout menjadi sebuah resiko dari pekerjaan yang dapat terjadi
pada semua profesi, termasuk guru. Bahkan, menurut Kleiber Ensman, bibliografi
terbaru yang memuat 2496 publikasi tentang burnout
di Eropa menunjukkan 43 persen burnout dialami pekerja kesehatan dan sosial, 32
persen dialami guru (pendidik), 9 persen dialami pekerja administrasi dan
manajemen, 4 persen pekerja di bidang hukum dan kepolisian, dan 2 persen
dialami pekerja lainnya.
Mengapa guru dapat
terkena burnout? Menurut Supriadi
(2004), mengutip penelitian Fullan dan Stiegerbauer, dalam satu tahun guru
berurusan dengan 200.000-an jenis urusan dengan karakteristik berbeda. Ini
merupakan sumber stres dan penyebab burnout.
Selain itu, Farber (1991) mengemukakan, keacuhan siswa, ketidakpekaan penilik
sekolah/pengawas, orang tua siswa yang tidak peduli, kurangnya apresiasi
masyarakat terhadap pekerjaan guru, bangunan fisik sekolah yang tidak baik,
hilangnya otonomi merupakan beberapa
faktor yang turut berperan menimbulkan burnout
pada guru. Karena sistem pendidikan memiliki semua elemen yang
diasosiasikan dengan stres struktur yang birokratis, evaluasi yang terus-menerus
terhadap proses dan hasil akhir, serta interaksi intensif yang terus meningkat
dengan para murid, orang tua murid, rekan kerja, kepala sekolah, dan komunitas.
Maka mengajar dapat dikategorikan sebagai pekerjaan dengan tingkat stres
tinggi.
Selain itu,
meningkatnya kenakalan murid, sikap apatis murid, kelas yang terlalu penuh,
gaji yang tidak mencukupi, orang tua yang tidak suportif atau selalu menuntut, keterbatasan
anggaran, beban administrasi yang terus meningkat, kurangnya dukungan infrastruktur,
dan opini publik yang selalu negatif juga berkontribusi pada meningkatnya
tingkat stres. Inilah yang mengakibatkan guru mengalami burnout.
Adapun gejala klasik burnout meliputi:
·
Energi
Fisik Depleted: stres
berkepanjangan dapat menguras fisik, menyebabkan kita merasa lelah, atau tidak
lagi memiliki energi seperti yang dulu. Dan ketika keluar dari kamar tidur akan beranggapan bahwa
akan menghadapi hari yang sama, bahkan
mungkin akan lebih sulit.
·
Kelelahan
Emosional: merasa tidak
sabar, moody, entah kenapa sedih, atau hanya merasa frustasi lebih mudah
daripada yang biasanya. Kita merasa sepertinya tidak bisa menghadapi hidup
ini dengan mudah.
·
Menurunkan
Kekebalan terhadap Penyakit: Ketika tingkat stres yang tinggi untuk jumlah waktu yang
lama, sistem
kekebalan tubuh kita tidak akan dapat menerima. Orang-orang yang menderita kelelahan biasanya mendapatkan
pesan dari tubuh mereka bahwa sesuatu harus berubah, dan pesan yang datang
dalam bentuk kerentanan meningkat terhadap pilek, flu, dan penyakit ringan lainnya.
·
Investasi
kurang dalam Hubungan Interpersonal: Penarikan diri dari hubungan interpersonal adalah tanda
lain kelelahan. Kita mungkin merasa memiliki minat yang kurang dalam memberi,
atau kurang dalam bersenang-senang, atau hanya kurang kesabaran dengan
orang-orang yang kita hadapi. Tapi untuk alasan apa pun, orang yang
mengalami kelelahan biasanya dapat merasakan dari hubungan yang terjalin dengan
orang lain.
·
Outlook
Semakin Pesimistis: Ketika mengalami
kelelahan, kita akan lebih sulit untuk memperoleh semangat hidup, sulit untuk
mengharapkan yang terbaik, sulit untuk membiarkan hal-hal roll off punggung
kita, dan sulit untuk 'melihat sisi terang' pada umumnya. Karena optimisme
adalah buffer yang besar untuk stres, bagi yang menderita kelelahan merasa
lebih sulit untuk menarik diri keluar dari kebiasaan mereka.
·
Peningkatan
Ketidakhadiran dan Inefisiensi di Tempat Kerja: Ketika mengalami kejenuhan pekerjaan, ketika
hanya keluar dari kamar tidur saja kita merasa enggan. Ini merupakan pertahanan
sadar terhadap kelelahan, tetapi jika mengalami hal itu cenderung kurang
efektif secara keseluruhan dan tinggal di rumah lebih sering dari bekerja.