Rabu, 31 Oktober 2012

Mengajar = Stress Tingkat Tinggi...??



Istilah burnout adalah istilah yang relatif baru, pertama kali diciptakan pada tahun 1974 oleh Herbert Freudenberger, dalam bukunya "Burnout: Biaya Tinggi Prestasi Tinggi".

Ia merupakan seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Freudenberger memberikan ilustrasi, sindrom burnout seperti gedung terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar, yang tampak hanya kerangka luarnya. Ilustrasi ini memberikan gambaran bahwa orang yang terkena burnout, dari luar segalanya tampak utuh, tapi di dalamnya kosong, penuh masalah.

Pada  awalnya burnout didefinisikan sebagai kelelahan, kepunahan motivasi atau insentif, terutama di mana pengabdian seseorang kepada penyebab atau hubungan gagal untuk menghasilkan hasil yang diinginkan.
Burnout terjadi pada sebagian besar orang yang banyak memberikan layanan kemanusiaan, termasuk guru yang memberikan layanan pendidikan pada siswa di sekolah. Apabila terkena burnout, ia akan memiliki efek psikologis yang buruk terhadap rendahnya aspek moral, seperti membolos, telat kerja, mudah tersinggung, dan keinginan untuk pindah. Konsep diri dan sikap negatif muncul, sehingga perhatian dan perasaan terhadap orang lain jadi tumpul. Dengan demikian, burnout menjadi sebuah resiko dari pekerjaan yang dapat terjadi pada semua profesi, termasuk guru. Bahkan, menurut Kleiber Ensman, bibliografi terbaru yang memuat 2496 publikasi tentang burnout di Eropa menunjukkan 43 persen burnout dialami pekerja kesehatan dan sosial, 32 persen dialami guru (pendidik), 9 persen dialami pekerja administrasi dan manajemen, 4 persen pekerja di bidang hukum dan kepolisian, dan 2 persen dialami pekerja lainnya.
Mengapa guru dapat terkena burnout? Menurut Supriadi (2004), mengutip penelitian Fullan dan Stiegerbauer, dalam satu tahun guru berurusan dengan 200.000-an jenis urusan dengan karakteristik berbeda. Ini merupakan sumber stres dan penyebab burnout. Selain itu, Farber (1991) mengemukakan, keacuhan siswa, ketidakpekaan penilik sekolah/pengawas, orang tua siswa yang tidak peduli, kurangnya apresiasi masyarakat terhadap pekerjaan guru, bangunan fisik sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi  merupakan beberapa faktor yang turut berperan menimbulkan burnout pada guru. Karena sistem pendidikan memiliki semua elemen yang diasosiasikan dengan stres struktur yang birokratis, evaluasi yang terus-menerus terhadap proses dan hasil akhir, serta interaksi intensif yang terus meningkat dengan para murid, orang tua murid, rekan kerja, kepala sekolah, dan komunitas. Maka mengajar dapat dikategorikan sebagai pekerjaan dengan tingkat stres tinggi.
Selain itu, meningkatnya kenakalan murid, sikap apatis murid, kelas yang terlalu penuh, gaji yang tidak mencukupi, orang tua yang tidak suportif atau selalu menuntut, keterbatasan anggaran, beban administrasi yang terus meningkat, kurangnya dukungan infrastruktur, dan opini publik yang selalu negatif juga berkontribusi pada meningkatnya tingkat stres. Inilah yang mengakibatkan guru mengalami burnout.
Adapun gejala klasik burnout meliputi:
·         Energi Fisik Depleted: stres berkepanjangan dapat menguras fisik, menyebabkan kita merasa lelah, atau tidak lagi memiliki energi seperti yang dulu. Dan ketika  keluar dari kamar tidur akan beranggapan bahwa akan menghadapi hari  yang sama, bahkan mungkin akan lebih sulit.
·         Kelelahan Emosional:  merasa tidak sabar, moody, entah kenapa sedih, atau hanya merasa frustasi lebih mudah daripada yang biasanya. Kita merasa sepertinya tidak bisa menghadapi hidup ini dengan mudah.
·         Menurunkan Kekebalan terhadap Penyakit: Ketika tingkat stres yang tinggi untuk jumlah waktu yang lama, sistem kekebalan tubuh kita tidak akan dapat menerima. Orang-orang yang menderita kelelahan biasanya mendapatkan pesan dari tubuh mereka bahwa sesuatu harus berubah, dan pesan yang datang dalam bentuk kerentanan meningkat terhadap pilek, flu, dan penyakit ringan lainnya.
·         Investasi kurang dalam Hubungan Interpersonal: Penarikan diri dari hubungan interpersonal adalah tanda lain kelelahan. Kita mungkin merasa memiliki minat yang kurang dalam memberi, atau kurang dalam bersenang-senang, atau hanya kurang kesabaran dengan orang-orang yang kita hadapi. Tapi untuk alasan apa pun, orang yang mengalami kelelahan biasanya dapat merasakan dari hubungan yang terjalin dengan orang lain.
·         Outlook Semakin Pesimistis: Ketika mengalami kelelahan, kita akan lebih sulit untuk memperoleh semangat hidup, sulit untuk mengharapkan yang terbaik, sulit untuk membiarkan hal-hal roll off punggung kita, dan sulit untuk 'melihat sisi terang' pada umumnya. Karena optimisme adalah buffer yang besar untuk stres, bagi yang menderita kelelahan merasa lebih sulit untuk menarik diri keluar dari kebiasaan mereka.
·         Peningkatan Ketidakhadiran dan Inefisiensi di Tempat Kerja: Ketika mengalami kejenuhan pekerjaan, ketika hanya keluar dari kamar tidur saja kita merasa enggan. Ini merupakan pertahanan sadar terhadap kelelahan, tetapi jika mengalami hal itu cenderung kurang efektif secara keseluruhan dan tinggal di rumah lebih sering dari bekerja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar